Seni Membaca Bahasa Tubuh (Body Language)
Tulisan ini disarikan dari buku The
Definitive Book of Body Language karya Barbara Pease and Allan Pease. Sesuai
dengan judulnya, buku ini membahas tentang body language, alias bahasa tubuh.
Kita mungkin sering mendengar istilah tadi, mempraktekkannya secara tak sadar,
namun tak banyak yang secara serius mempelajarinya. Padahal, jika kita
mempelajari & mau mempraktekkan hal-hal yang dikaji di dalamnya, body
language ini akan sangat bermanfaat. Baik untuk kepentingan personal dalam
bersosialisasi dengan orang lain, maupun dalam konteks bisnis.
Pada Awalnya Adalah Film Bisu
Siapa tak kenal Charlie Chaplin? Aktor
Inggris di era keemasan film bisu awal abad 20 ini terkenal dengan kemampuannya
berakting yang menimbulkan gelak tawa. Penampilannya yang ikonik, dengan topi,
tongkat jalan & pastinya yang selalu diingat orang, kumis a la Hitler-nya,
menjadikan Charlie Chaplin simbol era film di masanya. Namun, yang tak banyak
disadari orang adalah, Charlie Chaplin juga seorang genius dalam hal body
language.
Bayangkan, Anda hidup sebagai aktor di
era film bisu, dimana cerita film disampaikan ke audiens tanpa adanya bantuan
suara/percakapan. Hanya gambar bergerak, dan itupun gambar hitam putih. Charlie
Chaplin harus dan sangat berhasil dalam peran-perannya, karena dia paham satu
hal dasar, bahwa manusia berkomunikasi tidak hanya lewat suara/bahasa lisan,
namun justru lebih banyak lewat bahasa non lisan, yaitu bahasa tubuh.
Bagi kita yang hidup di masa sekarang,
yang terbiasa menonton film bersuara, film-film bisu a la Charlie Chaplin
terlihat “aneh”. Terlalu banyak adegan slapstik mungkin. Mirip kaya
sinetron-sinetron komedi Indonesia yang lebay. Namun, di masa-nya, memang
pendekatan slapstik seperti ini yang dibutuhkan.
Charlie Chaplin menggunakan hampir semua
potensi bahasa non-verbal yang bisa dieksplor untuk bercerita. Mimik wajah, gerak
tubuh, posisi tangan & kaki, pose tubuh, hingga kostum yang dipakai.
Sebegitu berhasilnya aktor yang mendapatkan gelar kebangsawanan “Sir” ini, nama
Charlie Chaplin sinonim dengan era film bisu.
Kajian Ilmiah Body Language
Ilmuwan era modern yang pertama kali
mengkaji body language adalah Charles Darwin dalam bukunya The Expression of
the Emotions in Man and Animals, yang terbit di tahun 1872. Dalam buku yang
terbit 13 tahun setelah On The Origin of Species Darwin berusaha mencari jejak
asal mula manusia dari karakteristik hewani yang masih ada padanya, seperti
mengatupkan bibir saat berkonsentrasi, atau tertariknya otot di sekitar mata
saat kita marah atau saat mencoba mengingat sesuatu. Namun, buku ini lebih
banyak dibaca oleh para akademisi karena sifatnya yang teknis akademis.
Albert Mehrabian, pionir penelitian body
language di erah 1950-an menemukan bahwa dampak dari sebuah pesan yang
disampaikan bervariasi tergantung bentuknya, yaitu 7% lisan (hanya ucapan) dan 38% vokal
(termasuk nada suara-tone of voice, modifikasi pengucapan tergantung stuktur
bahasa dan suara lain) dan 55% non-verbal.
Antropolog Ray Birdwhistell memperkirakan
bahwa pada umumnya, orang berbicara (mengucapkan kata & kalimat) sebanyak
10 – 11 menit setiap harinya, di mana rata-rata sebuah kalimat membutuhkan
waktu 2,5 detik untuk diucapkan.
Sebaliknya, Birdwhistell memperkirakan manusia pada umumnya mampu
membuat dan mengenali sekitar 250.000 ekspresi wajah. Dia juga menemukan bahwa
komponen verbal (lisan) dalam komunikasi antarpersonal berkontribusi kurang
dari 35%, sedangkan lebih dari 65% sisanya adalah komponen komunikasi
non-verbal.
Body Language Mengungkapkan Pikiran &
Emosi
Body language adalah ekspresi pikiran dan
emosi seseorang. Meskipun mungkin secara sadar dia tidak mengucapkan pikiran
atau emosi tersebut, namun bisa dipastikan bahasa tubuhnya menunjukkannya.
Sebagai contoh, seorang yang tidak suka dengan orang lain yang tengah
bersamanya mungkin tidak akan secara verbal mengatakan ketidaksukaannya, namun
posisi tubuh, arah pandang, mimik wajah dan berbagai sinyal fisiknya
menyampaikan ketidaksukaan tersebut. Simak gambar berikut, yang diambil saat
debat kandidat presiden Partai Demokrat di Amerika Serikat antara Barrack Obama
& Hillary Clinton.
Lihat bagaimana kedua kandidat ini tidak
saling melihat satu sama lain. Simak pula posisi tubuh masing-masingnya yang
cenderung menjauh dari arah lawan bicaranya. Belum lagi ekspresi wajah Hillary
& Obama yang terlihat tidak nyaman.
Atau kalau versi politik lokal Indonesia,
simak dinginnya hubungan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mantan
Presiden Megawati Sukarnoputri yang sudah menjadi rahasia umum. Sangat susah
menemukan kedua figur ini bertemu secara publik dan menampilkan wajah nyaman.
Seperti nampak pada gambar di bawah ini.
Nampak bagaimana SBY, panggila akrab
Susilo Bambang Yudhoyono, memberi salam kepada Megawati, namun yang
bersangkutan justru nampak melengos. Yang menunjukkan rasa tidak senangnya
kepada sang presiden, yang dulu adalah anggota kabinetnya namun akhirnya
mengalahkan dia saat pemilihan presiden di periode berikutnya.
Contoh lain pemimpin politik Indonesia
yang sangat memperhatikan body language & mampu mendayagunakannya secara
maksimal adalah Soekarno. Presiden Indonesia pertama ini senantiasa terlihat
percaya diri & penuh semangat. Tingkat kepercayaan diri Presiden Soekarno
bahkan seringkali mengalahkan lawan politiknya, baik di tingkat nasional maupun
internasional. Perhatikan gambar di bawah ini, saat Presiden Soekarno melawat
ke negri Paman Sam, dan disambut oleh Presiden Amerika Serikat, John F.
Kennedy.
Lihat betapa rileks dan percaya dirinya
Soekarno di atas mobil berdampingan dengan JFK. Posisi tangan kanan beliau yang
bersandar pada jok mobil dan seakan merangkul JFK yang sedikit membungkuk dan
condong ke arah Soekarno. Sementara tangan kiri Soekarno nampak menunjuk ke
suatu arah dengan jari tulunjuk teracung seakan tengah menjelaskan sesuatu ke
lawan bicaranya yang nampak mendengarkan. Bisa dibilang, di foto ini, jika
orang yang melihat tidak tahu konteks acaranya, bisa disangka Presiden
Soekarno-lah yang menjadi tuan rumah, alih-alih JFK.
Power relations antara Indonesia-Amerika Serikat di masa tersebut
memang menarik untuk disimak. Kisah kunjungan Presiden Soekarno ke Amerika
Serikat atas undangan John F. Kennedy adalah runtutan dari peristiwa besar
sebelumnya, di mana pilot Amerika, yang tak lain agen CIA, Allen Lawrence Pope,
yang tertangkap setelah pesawatnya tertembak jatuh oleh TNI saat peritiwa
pemberontakan PRRI/Permesta. Karena “kesalahan” fatal ini, Amerika Serikat yang
menjadi dalang pemberontakan tersebut berusaha mengambil hati Bung Karno, salah
satunya dengan mengundang beliau ke Amerika Serikat, guna membicarakan
pembebasan Allen Pope dan kompensasi yang diminta Indonesia sebagai
konsekuensinya. Makanya, wajar kalau sikap Bung Karno, yang dari awal memang
percaya diri, menjadi lebih ekspresif lagi bahkan saat bersama JFK.
Contoh lain dari body language yang
menarik sekaligus kontras adalah Presiden kedua Indonesia, Soeharto. Sang
similing general ini terkenal karena sikapnya nan kalem & berwibawa. Di
masa kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun, hampir tak ada yang berani
menunjukkan sikap menolak keinginan beliau. Lihat gambar berikut, saat Presiden
Soeharto menerima delegasi astronot Apollo di tahun 1973.
Simak betapa santai Presiden Soeharto bersikap, dengan kedua tangan
di belakang tubuh seperti seorang Bapak yang dengan serius memperhatikan
penjelasan anaknya. Nampak pula betapa kedua delegasi astronot memegang kedua
tangan di depan tubuh dengan pose “ngapurancak” bak pejabat lokal yang tengah
menemani sang raja.
Namun, posisi seperti ini terlihat
terbalik & dramatis saat di tahun 1998, Presiden Soeharto musti
menandatangani nota kesepahaman penyelamatan ekonomi Indonesia dengan IMF
(International Monetary Fund) yang diwakili Managing Director-nya, Michel
Camdessus. Simak bagaimana sikap & body language keduanya.
Lihat bagaimana Michel Camdessus berdiri
sambil melipat tangah di depan dada seraya melihat Presiden Soeharto yang tengah
membungkuk saat menandatangani dokumen. Perhatikan tatapan sang pemimpin IMF
dan bentuk bibirnya yang sedikit menyeringai. Kita bisa merasakan bahwa saat
itu Indonesia, yang diwakili figur Presiden Soeharto, “menyerah” terhadap IMF,
yang diwakili Michel Camdessus.
No comments:
Post a Comment