Kentut Yang Berakibat Maut
Apa jadinya jika kentut berbuntut
kematian
H.J. Friedericy, seorang kontrolir
Belanda yang bertugas di Watampone, pusat kota kerajaan Bone, Sulawesi Selatan,
tercengang ketika berkunjung ke sebuah rumah sakit pada 22 Juli 1922. Dia
melihat seorang pria dengan balutan perban hampir di sekujur tubuhnya.
Di ruang inap kelas bangsal itu, terdapat
24 tempat tidur. Dan terlihat beberapa pasien. Friedericy mengulik dan bertanya
tentang kejadian yang menimpa sang pasien. Jawabannya, karena amukan seorang
pria yang kentut di tengah keramaian dan tak kuasa menahan malu. “Bisa
bayangkan bagaimana muka Friedericy saat itu,” kata Amrullah Amir, sejarawan
Universitas Hasanuddin.
Amrullah Amir dalam tesisnya
"Penguasa Kolonial, Bangsawan dan Orang-orang Makassar: Perubahaan Sosial
dan Budaya politik di Gowa 1906-1942", mengutip kejadian itu melalui
catatan harian Friedericy, di mana amuk karena kentut ini bermula dalam sebuah
pesta pernikahan di kampung Ujung Lamuru.
Dijabarkannya, saat pesta pernikahan
telah usai dan orang-orang bersiap istirahat dan tidur pada malam hari,
tiba-tiba seorang tamu kentut dengan suara keras. Orang-orang yang hadir dan
mendengar suara buang angin itu tertawa. Sontak saja, tamu yang membuang angin
itu malu.
Akhirnya dalam keadaan gelap, sang tamu
yang kentut mengeluarkan badik dan melakukan amuk (jallo). Tentu saja orang itu
melakukannya dengan cara membabi buta. Akhirnya delapan orang meninggal dunia
dan beberapa lainnya mengalami luka. Asisten residen yang mendengar laporan itu
dari kontrolir berkata, “yang mengamuk itu sebetulnya tidak perlu malu, sebab
tidak seorang pun tahu siapa yang kentut.”
Kejadian serupa terjadi di Soppeng pada
1977. Dalam publikasi seminar "Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan",
tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mencatat, seorang laki-laki
tanpa sengaja melepaskan kentut (nakelo ettu) di hadapan orang banyak. Merasa
malu, pria itu seketika menghunus keris. Tapi, tak ada seorang pun yang
mendengarkan suara kentut menengadahkan wajah. Semua orang terntunduk dan diam.
Sesampainya di rumah, sang pria berkata,
“Sayang sekali, tidak ada seorang pun mengangkat wajahnya, kalau ada pasti
kutikam.” Tapi anehnya, di rumah pun si pria belum bisa membendung rasa
malunya. Untuk itu, dia meminta istrinya menumbuk lada sebanyak mungkin dan
kemudian diulaskannya ke dubur.
Di Sulawesi Selatan, ekspresi amuk (jallo
untuk Bugis dan ajjallo untuk Makassar) memang dikenal. Amuk ini terkadang
dibenarkan dalam hukum sosial dan adat karena menyangkut harga diri (passe) dan
rasa malu (siri). Tak mengherankan jika seorang saudara dapat membunuh saudara
perempuannya bila kawin lari (silariang) dengan laki-laki. Ekspresi amuk inilah
yang hingga sekarang bahkan menjadi stereotipe bagi orang Sulawesi Selatan.
Antropolog Universitas Hasanuddin Ismail
Ibrahim mencermatinya dalam laku kehidupan sehari-hari. Misalkan, aksi
demonstrasi di Makassar selalu ditampilkan dalam keadaan rusuh dan kacau. Kalau
tak rusuh bukan Makassar. “Jadi bisa saja, ada hal prinsip yang membuat
kelompok dan perorangan melakukan amuk. Masyarakat luar tak memahaminya,”
katanya.
Amuk atau jallo dalam pandangan budaya
(Bugis dan Makassar) bisa saja dibenarkan sekalipun bertentangan dengan hukum
positif (negara). “Seorang yang membawa lari istri orang lain bisa saja
melakukan amuk hingga membunuh, dan dalam kelompok masyarakat tertentu itu
dibenarkan karena soal harga diri,” kata Ismail Ibrahim.
Aturan dan tata cara dalam budaya
masyarakat Sulawesi Selatan inilah yang tak jarang pula membuat pemerintah
Hindia Belanda kebingungan. Ekspresi amuk masyarakat Sulawesi Selatan akan
berakibat fatal bila dihubungkan dengan perempuan, di mana yang menjadi tolak
ukuran harga diri dan dapat saja taruhannya adalah nyawa.
Koran Pemberita Makassar pada 4 Juni 1936
menuliskan sebuah kisah memilukan. Seorang laki-laki membunuh saudara
perempuannya, berstatus janda beranak satu, yang nekat kawin lari (silariang)
dengan seorang pria. Kawin lari ini tanpa izin dari pihak keluarga. Setelah
lama mencari, keberadaan sang perempuan ditemukan pada suatu siang. Tanpa
menunggu waktu lama saudara laki-lakinya langsung memukulkan sebuah tongkat
kayu pada perempuan tersebut, hingga tewas.
Dalam sistem hukum Belanda yang mengacu
pada Wetboek van Stafrecht 1918, budaya siri’ adalah persoalan rumit dalam
penegakan hukum. Gubernur Hindia Belanda di Celebes F.C. Vortsman dalam
suratnya 5 Juni 1923 mengeluhkan peristiwa itu. “Membawa lari wanita di bawah
usia 21 tahun tanpa tipu daya atau kekerasan, dengan berdasar pada kepentingan
wanita tersebut, kecuali didasarkan atas perzinahan, tidak dikenai hukuman.
Wanita itu dianggap sudah dewasa,” tulisnya.
No comments:
Post a Comment