10 Tentang VOC yang Belum Banyak Diketahui Orang
Sebagai kompeni dagang, VOC memiliki kewenangan yang menyerupai negara. Inilah sepuluh hal tentang simbol imperialisme Belanda di Nusantara itu.
Sebuah litograf yang menggambarkan pengapalan kargo dan persiapan ekspedisi di Pelabuhan Amsterdam, 1814. (Foto: www.gahetna.nl) |
PADA 20 Maret 1602 enam perusahaan dagang menggabungkan diri, membentuk Verenigde Oostindie Compagnie (VOC). Tujuan utama penggabungan itu adalah memperkuat armada dagang Belanda menghadapi pesaingnya, Spanyol dan Portugis. Keduanya dianggap merintangi jalan Belanda menguasai jalur perdagangan, khususnya ke kepulauan rempah-rempah di Nusantara.
Banyak hal yang belum diketahui publik mengenai bagaimana sebenarnya VOC bekerja dan menjalankan kegiatannya. Perusahaan dagang simbol kolonialisme dan imperialisme itu akhirnya mengalami kebangkrutan pada 1799 akibat korupsi yang kronis. Berikut 10 fakta sejarah di balik VOC yang jarang orang ketahui.
1. Gold dan Glory
Tak seperti Portugis dan Spanyol yang mengemban misi gold, glory dan gospel (kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama), VOC hanya berminat pada gold dan glory. VOC mengekang ketat para pendeta protestan yang berjumlah kurang dari seribu pendeta di seluruh wilayah VOC di Asia. Pelayanan rohani mereka dibatasi hanya kepada komunitas Eropa yang kecil dan komunitas-komunitas yang telah dikristenkan oleh Portugis, seperti Ambon, Minahasa, dan Malaka.
Justru di tubuh VOC kepemimpinannya cukup banyak diisi oleh orang-orang Yahudi -karena VOC memang kepunyaan kelompok Yahudi Eropa. Di Indonesia mereka banyak mendirikan Sinagog, orang kita dahulu menyebutnya Rumah Setan, karena ritual yang dilakukan di Sinagog merupakan pemujaan terhadap setan.
Dengan memperlihatkan sikap masa bodoh, menurut sejarawan Denys Lombard, para pedagang Belanda sekadar mengikuti kebiasaan para pedagang Asia, yang sejak berabad-abad melakukan perdagangan sama sekali tidak bermaksud menyiarkan agama mereka. “Selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka,” tulis Lombard, “orang-orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa meraka.”
2. Hak Octrooi
VOC menjadi “negara dalam negara” karena mendapat hak-hak istimewa (octrooi) dari Kerajaan Belanda. Hak-hak tersebut yaitu monopoli perdagangan, memiliki mata uang, mewakili pemerintah Belanda di Asia, mengadakan pemerintahan sendiri, mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, menjalankan kekuasaan kehakiman, memungut pajak, memiliki angkatan perang, dan menyatakan perang.
3. Tujuh Belas Kunci Heereen Seventien
Menurut sejarawan Mona Lohanda, di dalam ruang sidang Heereen Seventien di Amsterdam, terdapat lemari besar untuk menyimpan seluruh dokumen dan surat-surat VOC. Lemari tersebut hanya bisa dibuka dengan 17 kunci yang dipegang oleh 17 anggota Heereen Seventien. Hal ini memperlihatkan dewan tertinggi sangat menjaga kerahasiaan bisnis dagang VOC.
4. Pegawai VOC Internasional
Menurut Denys Lombard, penerimaan pegawai VOC pada kenyataannya bersifat “internasional.” Kompeni menjadi semacam “legiun asing.” Pada 1622, di garnisun Batavia terdapat 143 tentara: 17 orang Vlaams atau Wallon, 60 Jerman, Swiss, Inggris, Skotlandia, Irlandia, atau Denmark; 9 orang tak jelas asal usulnya; dan hanya 57 orang yang betul-betul kelahiran Belanda. Pegawai dari Jerman pada setiap waktu jumlahnya selalu besar. Banyak yang menjadi tentara, tetapi ada juga yang bekerja sebagai tenaga ahli, misalnya ahli bedah atau insinyur pertambangan.
5. Monopoli Ketat VOC
VOC melakukan monopoli perdagangan dengan sangat ketat. Ia tidak pernah memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk melakukan perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya secara perorangan, baik dengan Eropa maupun negeri-negeri Asia lainnya. Perdagangan gelap hanya dapat dilakukan hanya dengan risiko yang sangat besar. Orang-orang Eropa yang tidak lagi menjadi pegawai VOC (compagniesdienaren) dan menjadi warga bebas (vrijburgers), hanya punya peluang berusaha di sector-sektor yang kurang menguntungkan, seperti pertanian, perdagangan bahan pangan, rumah makan, dan rentenir. Tetapi di sektor ini mereka harus bersaing dengan para pedagang Tionghoa.
6. Pembentukan Kampung
Untuk membangun Batavia yang dikuasai sejak 1691, VOC mendatangkan orang-orang dari berbagai daerah di Nusantara. Menurut Parakitri T. Simbolon, selama VOC berkuasa telah menghimpun lebih dari 40 kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara dan dunia. Jumlahnya sekira 128.000 jiwa dan hanya sekira 600 orang Eropa.
VOC menyediakan lahan untuk mereka membangun perkampungan berdasarkan latar belakang suku masing-masing. Kampung tertua adalah Kampung Banda hasil migrasi yang dilakukan gubernur jenderal Jan Pieterszoon Coen pada 1621. Hingga kini, jejak kampung-kampung di Batavia dan sekitarnya masih bisa ditemukan sesuai nama etnisnya: Kampung Melayu, Kampung Bali, dan Kampung Ambon, dan lain-lain.
7. Larangan Membawa Wanita
Meski Hindia dikenal sebagai sorga, kebijakan VOC yang keras nyaris tak mengizinkan perempuan turut serta dalam pelayaran. Ini menjadi alasan kuat sehingga seorang perempuan harus menyaru laki-laki (transvestisme). Di sisi lain pemerintah Belanda tak permisif kepada para perempuan yang ketahuan menyamar menjadi laki-laki.
Hukum Belanda, yang antara lain bersumber pada hukum adat dan Injil, melarang transvestisme. Perempuan tak diperkenankan berpenampilan seperti laki-laki, juga sebaliknya. Transvestisme adalah tindakan kriminal. Namun biasanya tuduhan itu dikenakan untuk memperberat tindakan kriminal lainnya. Menurut Rudolf M. Dekker dan Lotte C.van de Pol, ada berbagai motif perempuan menyaru laki-laki: cinta, patriotisme, lari dari tuduhan kriminal, serta perbaikan kondisi ekonomi.
Oleh karena itu, menurut Denys Lombard, orang-orang Belanda yang baru tiba di Hindia bersedia mengawini gadis-gadis Indo yang berayah Portugis. Sebagian besar dari perempuannya, berasal dari Makassar dan Bali, tapi mereka adalah keturunan dari perkawinan campuran terdahulu. Makassar dan Bali, melalui perempuannya, member sumbangan besar kepada perkembangan penduduk Batavia.
8. Budak
Budak adalah komoditas perdagangan. Dalam abad ke-17, Heereen Seventien sampai kewalahan menangani soal budak yang dibawa orang Belanda yang pulang dari Nusantara. Markas VOC di Amsterdam direpotkan mengurusi perawatan budak yang ditinggalkan pemiliknya dan disibukan pula oleh para budak yang minta dipulangkan ke negeri asalnya.
Oleh karena itu, menurut Harry A. Poeze, VOC akhirnya mengeluarkan aturan untuk membatasi budak yang boleh dibawa ke negeri Belanda. Budak-budak itu banyak didatangkan dari Sulawesi dan Bali. Bukan hanya dibutuhkan sebagai tenaga kerja, budak pun dibutuhkan sebagai simbol status sosial. Tak heran jika budak akan dirawat sebaik mungkin, meski nyatanya banyak terjadi penindasan. Setelah VOC runtuh pun perbudakan masih terjadi di Hindia Belanda.
9. Komoditas Selain Rempah-rempah
Ketika harga rempah-rempah turun dan tak jadi komoditas primadona lagi, VOC tak kehilangan akal. Untuk tetap bertahan melakukan perdagangan, VOC kemudian memperdagangkan berbagai komoditas. Menurut sejarawan Mona Lohanda, dalam kargo-kargonya VOC mengangkut dan menjual ragam komoditas khas negeri tropis, seperti ayam, beras, kuda, bahkan budak.
10. Orang Belanda Pantang Menetap
Sementara orang Portugis memang berniat menetap dan beranak-pinak, ketika tiba di Asia orang-orang Belanda selalu mengatakan, “bila masa dinas enam tahun yang harus kujalani telah selesai, aku akan kembali ke Eropa.” Orang-orang Belanda selalu ingin pulang ke negerinya jika masa tugas usai. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk di Batavia yang tak didominasi orang Eropa. Dalam tahun 1674, jumlah mereka kurang dari sepersepuluh penduduk Batavia.
“Keterikatan para kolonis Belanda pada tanah airnya merupakan ciri hakiki mentalitas, yang menentukan perilaku mereka jauh sampai ke abad 20,” tulis Denys Lombard. Ada beberapa alasan mengapa mereka tak ingin menetap: tujuan mereka hanya ingin mencari kekayaan, VOC tidak memberi kelonggaran kepada prakarsa perorangan, tiadanya sarana untuk memperkenalkan dan menyesuaikan kebudayaannya, faktor cuaca dan ketidakberdayaan para dokter menyebabkan Batavia dianggap sebagai “kuburan orang Eropa.”
No comments:
Post a Comment