Penakluk Konstantinopel, Sultan Muhammad Al-Fatih (Bag. 2)
Sultan sangat yakin bahwa kota Konstantinople kini berada di ambang kejatuhannya. Walaupun demikian, dia berusaha memasuki kota itu dengan cara damai. Maka segera dia menulis surat kepada Kaisar Constantine yang berisi, permintaan agar dia menyerahkan kota itu tanpa pertumpahan darah. Dia menawarkan jaminan keselamatannya dan keselamatan pengawalnya saat keluar meninggalkan kota, juga bagi siapa saja dari penduduk itu yang menginginkan keamanan. Dia menjamin tidak akan terjadi pertumpahan darah di dalam kota dan mereka tidak akan mendapatkan gangguan apa pun. Mereka bisa memilih tinggal di dalam kota ataupun keluar meninggalkan kota.
Tatkala surat itu sampai ke tangan Kaisar Constantine, dia segera mengumpulkan para penasihatnya dan mengutarakan masalah itu. Setelah mendengar isi surat tadi, sebagian di antara mereka cenderung untuk menyerah, namun sebagian yang lain tetap bertahan untuk mempertahankan kota hingga titik darah penghabisan. Ternyata kaisar pun lebih condong memilih pendapat yang ingin mempertahankan kota hingga titik darah penghabisan. Maka dari itu, kaisar pun menjawab surat sultan untuk menyerah dan ridho untuk membayar upeti, sedangkan Konstantinople, maka saya bersumpah untuk mempertahankannya hingga nafas terakhir saya. Maka tidak ada pilihan bagi saya, kecuali mempertahankan singgasana atau saya terkubur di bawah pagar-pagar istana.”
Tatkala surat Constantine diterima sultan, sultan berkata, “Baiklah, sebentar lagi saya akan memiliki singgasana di Konstantinople atau saya terkubur di bawah puing-puing istana.”
Maka setelah sultan tidak berhasil membujuk penyerahan kota dengan jalan damai, dia segera melakukan serangan yang lebih gencar dan dahsyat. Khususnya dengan menggunakan puluru-peluru meriam ke dalam kota. Bahkan meriam sultan meledak karena seringnya dipergunakan, sehingga membuat orang-orang yang mengendalikannya meninggal. Di antara mereka yang meninggal, adalah insinyur Orban yang mengawasi penggunaan meriam tadi. Namun demikian, sultan memerintahkan agar meriam itu segera didinginkan dengan menggunakan minyak zaitun. Dan para ahli meriam berhasil melakukannya, sehingga lontaran peluru (meriam) sultan kembali mampu menerjang kota di samping menerjang pagar-pagar pembatas dan benteng-benteng.
Sultan Muhammad Al-Fatih Mengadakan Pertemuan dengan Majelis Syura
Sultan mengadakan pertemuan dengan para penasihat dan komandannya, ditambah dengan para syaikh dan ulama. Sultan meminta mereka untuk mengeluarkan pendapatnya dengan terus terang dan tanpa ragu-ragu. Maka sebagian di antara mereka menasihatinya untuk segera menarik pasukannya. Di antara yang mengusulkan seperti itu adalah Menteri Khalil Pasya. Alasannya, agar tidak terjadi pertumpahan darah dan tidak menimbulkan kemarahan kristen Eropa, jika kaum muslimin nantinya menguasai kota tadi serta alasan-alasan lain sebagai pembenaran penarikan mundur prajurit. Maka tak aneh, bila Khalil Pasya dicurigai membantu Byzantium dan berusaha untuk menjatuhkan kaum muslimin.
Sebagian yang hadir berusaha mendorong sultan untuk melanjutkan serangan ke dalam kota dan menganggap remeh Eropa dan kekuatannya. Sebagaimana mereka juga mendorong agar kembali mengangkat semangat tentara untuk menaklukkan kota itu. Sebab dalam pandangan mereka, mundur berarti akan menghancurkan semangat jihad mereka. Di antara orang yang berpendapat demikian, adalah seorang komandan yang sangat pemberani bernama Zughanusy Pasya. Dia seorang kristen asal Albania yang kemudian masuk Islam. Dia menganggap lemah kekuatan Eropa di hadapan sultan.
Buku-buku sejarah menyebutkan tentang sikap Zughanusy Pasya ini. Tatkala sultan menanyakan sikap dan pandangannya, dia melompat dari duduknya dan bersuara lantang dengan menggunakan bahasa Turki yang sedikit gagap, “Tidak, sekali lagi tidak wahai sultan! Saya tidak akan menerima apa yang dikatakan oleh Khalil Pasya. Kami datang ke sini tidak ada tujuan lain, kecuali untuk mati dan bukan untuk pulang kembali.”
Ucapan lantang ini menimbulkan pengaruh yang dalam di dada hadirin. Dan untuk sementara tempat itu senyap. Kemudian Zughanusy Pasya melanjutkan perkataannya,
“Sesungguhnya di balik ucapan Khalil Pasya, terdapat keinginan untuk memadamkan semangat yang ada di dalam dada kalian, membunuh keberanian dan tekad kalian. Namun dia tidak akan pernah mendapatkan apa-apa, kecuali putus asa dan kerugian. Sesungguhnya tentara Alexander Agung yang berangkat dari Yunani ke India, lalu dia menguasai separuh Benua Asia yang luas, tidak lebih besar jumlahnya dari tentara kita. Maka, jika pasukannya mampu menguasai negeri-negeri yang luas itu, apakah tentara kita tidak akan mampu untuk melintasi tumpukan batu-batu yang bersusun-susun itu. Khalil Pasya telah mengatakan pada kita, bahwa negara-negara Barat akan datang pada kita untuk membalas dendam. Lalu siapa yang dia maksud dengan negara-negara Barat itu? Apakah yang dia maksud, negara-negara Latin yang kini sedang dilanda permusuhan internal, atau negara-negara di Laut Tengah (Laut Mediterania) yang tidak mampu apa-apa, kecuali hanya merampok dan mencuri? Andaikata negara-negara itu mau memberikan bantuan pada Byzantium, pastilah mereka akan mengirim pasukan dan kapal-kapal perangnya. Andaikata orang-orang Barat itu setelah kita taklukkan kota Konstantinople, beranjak untuk berperang dan mereka memerangi kita, maka apakah kita akan berpangku tangan dan tidak melakukan gerakan apa-apa? Bukankah kita memiliki tentara yang akan mempertahankan kehormatan kita?
Wahai penguasa kesultanan! Kau telah tanyakan pendapat saya, maka kini akan aku katakan pendapat saya secara terus terang. Hati kita hendaknya kokoh laksana batu karang, dan kita wajib meneruskan peperangan ini, tanpa harus dilanda sifat lemah dan kerdil. Kita telah mulai satu perkara, maka wajib bagi kita untuk menyelesaikannya. Wajib bagi kita untuk meningkatkan serangan dan wajib bagi kita untuk membuka perbatasan dan kita runtuhkan keberanian mereka. Tidak ada pendapat lain yang bisa saya kemukakan selain ini…”
Mendengar ucapan penuh semangat ini, berbinarlah muka sultan dan tampak dia sangat puas dan lega. Kemudian dia menoleh pada komandan perangnya Tharhan dan menanyakan bagaimana pendapatnya. Maka dia pun menjawab dengan tangkas, “Apa yang dikatakan Zughanusy adalah tepat dan saya sependapat dengannya, wahai sultan!”
Kemudian sultan menanyakan pada Syaikh Aaq Syamsuddin dan Maulana Al-Kurani tentang pendapat keduanya. Sultan demikian percaya kepada keduanya yang akan menyetujui apa yang dikatakan oleh Zughanus Pasya. Kedua syaikh berkata, “Harus dilanjutkan dan dengan kekuatan yang Maha-Agung, maka kemenangan akan segera tercapai.”
Semangat semakin bergelora di dada orang-orang yang hadir. Sultan merasa demikian gembira dengan do’a kedua syaikh untuk kemenangan tentara Utsmani. Maka dia pun tak kuasa untuk tidak mengatakan, “Siapa di antara nenek moyangku yang memiliki kekuatan seperti aku?”
Para ulama mendukung pendapat yang menyatakan hendaknya jihad dilanjutkan sebagaimana Sultan juga demikian gembira saat mengungkapkan pendapat dan keinginannya untuk melanjutkan serangan hingga kota Konstantinople bisa ditaklukkan. Pertemuan selesai dengan diakhiri oleh seruan dari sultan, bahwa serangan umum akan terus dilakukan dengan melakukan pengepungan kota. Dia akan mengeluarkan perintah penye- rangan dan pengepungan kota pada saat terbuka kesempatan yang tepat. Dan semua tentara hendaknya bersiap-siap untuk melakukan itu.
Muhammad Al-Fatih Mengarahkan Seruannya dan Mengawasi Sendiri Pasukannya
Hari Ahad 18 Jumadil Ula/27 Mei 1453 M, sultan memberikan wejangan pada pasukannya untuk khusyu, membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan melakukan shalat dan perilaku-perilaku taat pada umumnya. Dia memerintahkan agar bala tentaranya banyak berdo’a dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang Mahakuasa, dengan harapan semoga Allah Ta’ala memudahkan penaklukkan kota. Masalah ini tersebar luas di kalangan kaum muslimin.
Pada hari itu juga, sultan melakukan pemeriksaan langsung pada pagar-pagar pembatas kota dan dia berusaha untuk mengetahui kondisi terakhirnya. Pada saat yang sama, dia juga mencari tahu sejauh mana kondisi para penjaga pagar-pagar kota di berbagai titik. Kemudian dia menentukan titik mana saja yang akan menjadi sasaran penyeberangan pasukan Utsmani.
Dia memeriksa kondisi pasukannya dan memberikan semangat untuk selalu rela berkorban dalam memerangi musuh. Sebagaimana ia juga mengutus utusan ke warga Galata, yang saat itu bersikap netral untuk tidak ikut campur dalam semua hal yang akan terjadi, sebagai komitmen dari kesepakatan yang telah disetujui bersama. Dia juga berjanji akan mengganti semua kerugian yang diderita akibat perang itu. Di sore hari itu juga, tentara Utsmani menyalakan api yang demikian membumbung di sekitar markas tentara.
Sedangkan suara mereka menggema mengudara dengan tahlil dan takbir. Peristiwa ini membuat orang-orang Romawi berpikir, bahwa api telah berkobar besar di markas pasukan Utsmani. Mereka mengira, bahwa pasukan Utsmani melakukan pesta kemenangan sebelum penyerangan. Satu hal yang menimbulkan rasa takut yang demikian besar di dalam dada pasukan Romawi. Sehari setelah itu, yakni 28 Mei 1453 M, persiapan yang demikian matang dilakukan pasukan Utsmani, sedangkan meriam-meriam melemparkan peluru yang disertai semburan api. Sedangkan sultan melakukan aksi keliling ke semua tempat pasukan berada, sambil memberikan komando dan mengingatkan mereka untuk ikhlas, selalu berdo’a, rela berkorban, dan siap untuk berjihad.
Sedangkan para ulama dan pasukan sesepuh kaum muslimin, berkeliling pada semua tentara sambil membacakan ayat-ayat jihad dan perang serta membacakan surat Al-Anfal. Para ulama mengingatkan kaum mujahidin tentang keutamaan mati syahid di jalan Allah dan tentang para syuhada terdahulu yang meninggal di sekitar kota Konstantinople, di antaranya adalah Abu Ayyub Al-Anshari ra. Mereka mengatakan pada kaum mujahidin, “Tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, dia singgah di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Sedangkan Abu Ayyub sengaja mendatangi tanah ini dan dia singgah di sini.” Ucapan ini membakar semangat pasukan Islam itu dan menimbulkan gelora juang yang tinggi.
Setelah Sultan kembali ke kemahnya, maka dia memanggil pembesar-pembesar tentara. Saat itulah dia mengeluarkan pengumuman terakhir, kemudian menyampaikan pidato sebagai berikut, “Jika penaklukkan kota Konstantinople sukses, maka sabda Rasulullah r telah menjadi kenyataan dan salah satu mukjizatnya terbukti, maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari Hadits ini, yang berupa kemualiaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini, akan menambah ketinggian dan kemualiaan Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap pasukan menjadikan ajaran-ajaran syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada di antara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah dan tak berdaya yang tidak ikut dalam pertempuran.”
Pertolongan Allah dan Kemenangan yang Dekat
Pada jam satu pagi, hari Selasa, tanggal 20 Jumadil Ula 857 H/29 Mei 1453 M, serangan umum mulai dilancarkan ke kota Konstantinople setelah dikeluarkannya komando kepada semua mujahidin yang menggemakan takbir. Pasukan mujahidin berangkat ke batas kota. Orang-orang Byzantium dilanda ketakutan yang sangat. Maka mereka segera menabuh lonceng-lonceng gereja dan banyak yang berlindung di dalam gereja.
Serangan pamungkas ini dilakukan secara serentak dari segala penjuru, laut dan darat sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Para mujahidin sama-sama merindukan mati syahid. Oleh sebab itulah, mereka maju dengan gagah berani dan semangat berkorban yang tinggi. Mereka maju menyerang musuh. Banyak di antara para mujahidin yang mati syahid.
Serangan itu sendiri dibagi ke dalam berbagai titik. Namun secara khusus serangan terbesar dipusatkan pada Lembah Likus, yang dipimpin langsung oleh Sultan sendiri. Gelombang pasukan pertama dari mujahidin menghujani benteng-benteng pertahanan dengan hujan anak panah dan meriam. Mereka berusaha keras untuk melumpuhkan pertahanan lawan.
Dengan kenekatan orang-orang Byzantium dan keberanian orang-orang Islam, berjatuhanlah korban di kedua belah pihak dalam jumlah besar. Tatkala pasukan pertama mengalami kekalahan, Sultan telah menyiapkan pasukan lain. Maka pasukan pertama segera menarik diri dan pasukan baru maju ke medan perang. Sementara itu pasukan musuh telah dilanda keletihan. Pasukan baru itu mampu mencapai benteng-benteng pertahanan dan mereka segera memancangkan tangga-tangga untuk menembus pertahanan musuh. Namun pasukan kristen berhasil menjungkalkan tangga-tangga itu. Pasukan Islam pun dengan mati-matian terus melakukan penyerangan, sedangkan orang-orang kristen dengan sekuat tenaga berusaha menghadang pasukan Islam yang ingin memanjat pagar pertahanan.
Di lain pihak, pertempuran di laut juga berlangsung seru dan sesuai dengan yang direncanakan, sehingga membuat musuh kalang kabut. Musuh telah dibuat sibuk melakukan perlawanan di banyak medan pada satu waktu sekaligus. Dan bersamaan dengan munculnya sinar pagi, para mujahidin bisa memastikan tempat-tempat musuh dengan lebih detail dan tepat. Mereka pun mulai melancarkan serangan yang lebih berlipat. Kaum muslimin demikian semangat dan mereka betul-betul menginginkan agar serangannya sukses.
Namun demikian, sultan mengeluarkan perintah agar pasukan Islam menarik diri dengan tujuan untuk mengistirahatkan meriam-meriam agar bisa dioperasikan kembali, sebab telah digunakan untuk bertempur sepanjang malam. Tatkala meriam-meriam telah mulai dingin, datanglah pasukan khusus Inkisyariyah yang dipimpin sultan. Pasukan ini menampakkan keberanian yang demikian mengagumkan dan tanpa tanding dalam pertempuran. Tiga puluh (30) di antara mereka mampu memanjat benteng lawan yang mengejutkan pasukan musuh. Walaupun ada beberapa di antara mereka yang mati syahid, termasuk di dalamnya komandan pasukan, namun peristiwa ini telah menjadi pintu pembuka untuk bisa memasuki kota di Thub Qabi dan mereka mampu memancangkan panji-panji Utsmani.
Kaisar menggantikan posisi Giovanni Guistiniani untuk menjadi komandan lapangan, karena Giovanni mengalami luka sangat parah dan telah kabur melarikan diri dari medan perang dengan salah satu perahu. Kaisar dengan sekuat tenaga berusaha untuk mendorong pasukannya agar berteguh hati mempertahankan negerinya. Ini dilakukan karena dia melihat perasaan putus asa telah menggelayuti hati pasukannya untuk melakukan perlawanan. Di sisi lain pasukan Islam, di bawah pimpinan sultan sendiri berusaha sekuat tenaga untuk mempergunakan kelemahan jiwa musuh.
Pasukan Utsmani melanjutkan serangan ke kota itu dari sisi lain hingga mereka mampu memasuki pagar pertahanan dan mampu menguasai beberapa benteng dan menghantam musuh di pintu gerbang Adrianople. Di sinilah panji-panji Utsmani dikibarkan. Pasukan Islam bergerak maju laksana gelombang ke dalam kota Konstantinople melalui kota wilayah ini. Tatkala Constantine melihat panji-panji Utsmani berkibar di atas benteng-benteng bagian utara kota, dia yakin bahwa kini tidak mungkin lagi kota itu dipertahankan. Oleh sebab itulah, dia segera melepaskan pakaian perangnya agar tidak dikenal dan dia pun turun dari kudanya. Dia terus berperang hingga akhirnya terbunuh di medan perang.
Tersebarnya kabar kematiannya memiliki pengaruh besar dalam meningkatkan semangat juang pasukan Utsmani dan melumerkan semangat pasukan kristen yang sedang mempertahankan kota itu. Pasukan Utsmani mampu menguasai kota dari berbagai sudut, sedangkan pasukan kristen melarikan diri setelah kematian komandannya.
Demikianlah kaum muslimin mampu menguasai kota Konstantinople. Di saat itulah Sultan bersama-sama pasukanya berbagi rasa gembira dan nikmat nya kemenangan atas musuh-musuh mereka. Dari pelana kudanya, sultan berkata kepada para komandan lapangan dengan mengucapkan kata selamat, “Alhamdulillah, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada para syuhada dan melimpahkan kemuliaan pada para mujahidin, dan kebanggaan dan syukur atas bangsaku.”
Di hari itu, selasa 20 Jumadil Ula 857 H/29 Mei 1453 M, tak ada yang dilakukan oleh Sultan Al-Fatih, kecuali dia berkeliling menemui pasukannya dan panglima-panglima perangnya yang selalu mengucapkan “Masya Allah”. Dan dia pun menoleh kepada mereka dan berkata, “Kalian telah menjadi orang-orang yang mampu menaklukkan kota Konstantinople yang telah Rasulullah kabarkan.”
Perlakuan Sultan Al-Fatih kepada Kaum Kristen yang Kalah Perang
Sultan Al-Fatih segera menuju ke gereja Aya Shopia, tempat di sana telah berkumpul banyak orang bersama-sama dengan para rahib dan pendeta yang membacakan do’a-do’a atas mereka. Tatkala sultan mendekati pintu gereja, orang-orang kristen merasa sangat ketakutan. Salah seorang pendeta segera membukakan pintu untuk sultan. Sultan meminta pada pendeta untuk menenangkan orang-orang yang ada di dalam gereja dan mereka supaya diperintahkan agar segera pulang ke rumahnya masing-masing dengan tenang dan aman.
Mendengar demikian, masyarakat yang bersembunyi itu pun merasa tenang. Saat itu ada beberapa pendeta yang sembunyi di lorong-lorong bawah tanah. Maka tatkala mereka menyaksikan sikap toleran Sultan Al-Fatih, mereka pun menyatakan diri masuk Islam.
Setelah itu, sultan memerintahkan untuk segera mengubah gereja menjadi masjid. Tujuannya agar pada hari Jum’at depan sudah bisa dipergunakan untuk shalat Jum’at. Para pekerja pun segera bekerja keras untuk melakukan renovasi. Mereka menurunkan salib-salib, berhala-berhala, dan menghapus semua gambar yang ada di dalamnya. Kemudian membuat sebuah mimbar untuk khatib. Perubahan gereja menjadi masjid dibolehkan, sebab penaklukan negeri itu melalui peperangan. Sedangkan peperangan memiliki hukum perang sesuai syariat Islam.
Sultan telah memberikan kebebasan kepada kalangan kristen untuk melakukan semua acara ritual mereka, serta memberikan kebebasan bagi mereka untuk memilih pemimpin agama yang memiliki otoritas untuk melakukan keputusan dalam masalah-masalah sipil di kalangan mereka. Sebagaimana kebebasan ini juga diberikan kepada para pemimpin gereja di wilayah-wilayah lain. Namun pada saat yang sama, sultan mewajibkan kepada mereka untuk membayar jizyah.
Seorang sejarawan asal Inggris yang bernama Edward berusaha melakukan distorsi/mengacaukan sejarah dalam bukunya, Sejarah Turki Utsmani, dengan cara menggambarkan penaklukan pasukan Utsmani dan Sultan Muhammad Al-Fatih dengan gambaran yang jelek. Distorsi ini lahir karena adanya kebencian dan rasa iri yang ada di dalam dadanya terhadap kegemilangan penaklukkan Islam. Ensiklopedia Americana yang terbit pada tahun 1980 M, juga melakukan hal yang sama. Di dalamnya menampakkan kandungan kebencian salibis yang demikian kental terhadap Islam. Ensiklopedia ini menulis, bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih telah melakukan perbudakan terhadap orang-orang kristen yang ada di Konstantinople. Mereka –menurut Ensiklopedia ini– digiring ke pasar-pasar budak di kota Adrianople untuk dijual di tempat tersebut.
Realitas historis yang sesungguhnya, menyebutkan bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih memperlakukan penduduk Konstantinople dengan cara yang ramah dan penuh rahmat. Sultan memerintahkan tentaranya untuk berlaku baik dan toleran pada tawanan perang. Bahkan dia telah menebus sejumlah tawanan dengan mempergunakan hartanya sendiri. Khususnya para pangeran yang berasal dari Yunani dan para pemuka agama kristen. Sultan pun rajin bertatap muka dengan para uskup untuk menenangkan rasa takut yang ada di dalam dada mereka.
Dia memberi jaminan kepada mereka, agar tidak takut-takut untuk tetap berada di dalam akidah lama mereka dan melakukan syariat yang ada dalam agamanya, serta tetap beribadah di rumah-rumah ibadah mereka. Dia memerintahkan untuk melakukan pemilihan ketua uskup yang baru. Akhirnya mereka memilih Ignadius sebagai ketua uskup baru. Setelah terpilih sebagai uskup, Ignadius berangkat menuju kediaman sultan yang diiringi sejumlah uskup. Sultan Muhammad Al-Fatih menyambutnya dengan sambutan yang demikian ramah dan menghormatinya dengan penuh penghormatan. Sultan makan bersama mereka dan berdialog dalam berbagai masalah, baik masalah keagamaan, politik, dan sosial.
Selesai pertemuan dengan sultan, pandangan Ignadius dan para uskup tentang sultan-sultan Utsmani dan orang-orang Turki berubah 180 derajat. Bukan hanya itu. Dia berubah pandangan tentang kaum muslimin secara keseluruhan. Dia merasa berhadapan dengan seorang sultan yang demikian terdidik dan berperadaban. Seorang pembawa misi dan akidah religius yang sangat kokoh dan seorang yang membawa nilai-nilai kemanusiaan yang demikian tinggi, seorang kesatria sejati. Kekaguman ini dirasakan juga oleh semua warga Romawi dari lubuk hati mereka yang paling dalam. Sebab, mereka sebelumnya membayangkan akan ada pembunuhan masal terhadap mereka oleh pasukan Utsmani. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Hanya dalam hitungan hari, penduduk Konstantinople telah melakukan kegiatan sehari-hari sebagaimana biasa. Dalam kondisi tenang dan damai.
Wafatnya Sultan Al Fatih
Pada bulan Robi’ul Awwal 887 H/1481 M Sultan Muhammad Al Fatih berangkat berjihad menuju Asia kecil. Di kawasan Askadar telah disiapkan pasukan besar. Dalam kondisi sakit demam, seperti biasanya, beliau berjihad kemudian Allah sembuhkan. Namun kali ini demamnya semakin tinggi. Dokter dan obat yang ada tidak berguna lagi. Akhirnya beliau wafat di tengah-tengah pasukan besarnya tanggal 4 Robi’ul Awwal 887 H/1481 M dalam usia 52 tahun dan telah berkuasa selama kira-kira 30 tahun.
(Dirangkum dari Buku Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Kelas VIII Semester 2, Penulis : Suroso Abdussalam, Penerbit LP3IT)
No comments:
Post a Comment